Mekanisme
kerja otot pada dasarnya melibatkan suatu perubahan dalam keadaan yang relatif
dari filamen-filamen aktin dan myosin. Selama kontraksi otot, filamen-filamen
tipis aktin terikat pada dua garis yang bergerak ke Pita A, meskipun filamen
tersebut tidak bertambah banyak.Namun, gerakan pergeseran itu mengakibatkan
perubahan dalam penampilan sarkomer, yaitu penghapusan sebagian atau seluruhnya
garis H. selain itu filamen myosin letaknya menjadi sangat dekat dengan
garis-garis Z dan pita-pita A serta lebar sarkomer menjadi berkurang sehingga
kontraksi terjadi. Kontraksi berlangsung pada interaksi antara aktin miosin
untuk membentuk komplek aktin-miosin.
Suatu
stimulus tunggal (yang menimbulkan potensial aksi) bila dikenakan pada suatu
serabut otot, akan menghasilkan suatu kontraksi otot tunggal pada serabut otot
tersebut. Bila potensial aksi kedua diberikan setelah otot mencapai relaksasi
penuh, maka akan terjadi kontraksi tunggal kedua dengan kekuatan sama dengan
kontraksi pertama. Namun bila potensial aksi kedua itu diberikan belum mencapai
relaksasi penuh, maka akan terjadi kontraksi tambahan pada puncak kontraksi
pertama kondisi ini dinamakan penjumlahan kontraksi. Bila suatu otot diberi
stimulus dengan sangat cepat namun diantara dua stimuli masih ada sedikit
relaksasi, maka akan terjadi tetanus tidak sempurna. Bila tidak ada kesempatan
otot untuk relaksasi diantara dua stimuli, maka akan terjadi kontraksi dengan
kekuatan maksimum yang disebut tetanus sempurna.
SLIDING
FILAMENT THEORY
Dari
hasil penelitian dan pengamatan dengan mikroskop elektron dan difraksi sinar X,
Hansen dan Huxly (l955) mengemukkan teori kontraksi otot yang disebut model
sliding filaments. Model ini menyatakan bahwa kontraksi didasarkan adanya dua
set filamen di dalam sel otot kontraktil yang berupa filament aktin dan filamen
miosin.. Rangsangan yang diterima oleh asetilkolin menyebabkan aktomiosin
mengerut (kontraksi). Kontraksi ini memerlukan energi.
Pada
waktu kontraksi, filamen aktin meluncur di antara miosin ke dalam zona H (zona
H adalah bagian terang di antara 2 pita gelap). Dengan demikian serabut otot
menjadi memendek yang tetap panjangnya ialah ban A (pita gelap), sedangkan ban
I (pita terang) dan zona H bertambah pendek waktu kontraksi.
Ujung
miosin dapat mengikat ATP dan menghidrolisisnya menjadi ADP. Beberapa energi
dilepaskan dengan cara memotong pemindahan ATP ke miosin yang berubah bentuk ke
konfigurasi energi tinggi. Miosin yang berenergi tinggi ini kemudian
mengikatkan diri dengan kedudukan khusus pada aktin membentuk jembatan silang.
Kemudian simpanan energi miosin dilepaskan, dan ujung miosin lalu beristirahat
dengan energi rendah, pada saat inilah terjadi relaksasi. Relaksasi ini
mengubah sudut perlekatan ujung myosin menjadi miosin ekor. Ikatan antara
miosin energi rendah dan aktin terpecah ketika molekul baru ATP bergabung
dengan ujung miosin. Kemudian siklus tadi berulang Iagi.
Mekanisme
kerja otot pada dasarnya melibatkan suatu perubahan dalam keadaan yang relatif
dari filamenfilamen aktin dan myosin. Selama kontraksi otot, filamen-filamen
tipis aktin terikat pada dua garis yang bergerak ke Pita A, meskipun filamen
tersebut tidak bertambah banyak.Namun, gerakan pergeseran itu mengakibatkan
perubahan dalam penampilan sarkomer, yaitu penghapusan sebagian atau seluruhnya
garis H. selain itu filamen myosin letaknya menjadi sangat dekat dengan
garis-garis Z dan pita-pita A serta lebar sarkomer menjadi berkurang sehingga
kontraksi terjadi. Kontraksi berlangsung pada interaksi antara aktin miosin
untuk membentuk komplek aktin-miosin.
CROSS
BRIDGE HYPHOTHESIS
Suatu
filamen tebal tersusun atas molekul-molekul myosin yang merupakan suatu molekul
besar seperti batang tipis (lebih kurang 200 nm) yang tersusun atas 2 spiral
peptida yang saling berpilin. Setiap molekul myosin pada salah satu ujungnya
memiliki 2 bulatan (kepala) yang panjangnya 20nm dan lebar 2nm bagian ini
disebut jembatan silang (cross bridge) myosin yang menonjol keluar filamen
tebal.
Hidrolisis
ATP dapat dikaitkan dengan model pergeseran-filamen. Pada
mulanya, kita mengasumsikan jika
cross-bridges miosin memiliki letak yang konstan tanpa berpindah-pindah, maka
model ini tak dapat dibenarkan. Sebaliknya, cross-bridges itu harus
berulangkali terputus dan terkait kembali pada posisi lain namun masih di
daerah sepanjang filamen dengan arah menuju disk Z.
Melalui
pengamatan dengan sinar X terhadap struktur filamen dan kondisinya saat proses
hidrolisis terjadi, Rayment, Holden, dan Milligan mengeluarkan postulat bahwa
tertutupnya celah aktin akibat rangsangan (berupa ejeksi ADP) itu berperan
besar untuk sebuah perubahan konformasional (yang menghasilkan hentakan daya
miosin) dalam siklus kontraksi otot. Postulat ini selanjutnya mengarah pada
model “perahu dayung” untuk siklus kontraktil yang telah banyak diterima
berbagai pihak. Pada mulanya, ATP muncul dan mengikatkan diri pada kepala
miosin S1 sehingga celah aktin terbuka. Sebagai akibatnya, kepala S1 melepaskan
ikatannya pada aktin. Pada tahap kedua, celah aktin akan menutup kembali
bersamaan dengan proses hidrolisis ATP yang menyebabkan tegaknya posisi kepala
S1. Posisi tegak itu merupakan keadaan molekul dengan energi tinggi
(jelas-jelas memerlukan energi). Pada tahap ketiga, kepala S1 mengikatkan diri
dengan lemah pada suatu monomer aktin yang posisinya lebih dekat dengan disk Z
dibandingkan dengan monomer aktin sebelumnya. Pada tahap keempat, Kepala S1
melepaskan Pi yang mengakibatkan tertutupnya celah aktin sehingga afinitas
kepala S1 terhadap aktin membesar. Keadaan itu disebut keadaan transien.
Selanjutnya, pada tahap kelima, hentakan-daya terjadi dan suatu geseran
konformasional yang turut menarik ekor kepala S1 tadi terjadi sepanjang 60
Angstrom menuju disk Z. Lalu, pada tahap akhir, ADP dilepaskan oleh kepala S1
dan siklus berlangsung lengkap.
PERANAN
Ca2+
Sejak tahun
1940, ion Kalsium diyakini turut berperan serta dalam pengaturan kontraksi
otot. Kemudian, sebelum 1960, Setsuro Ebashi menunjukkan bahwa pengaruh Ca2+ ditengahi
oleh Troponin dan Tropomiosin. Ia menunjukkan aktomiosin yang diekstrak
langsung dari otot (sehingga mengandung ikatan dengan troponin dan tropomiosin)
berkontraksi karena ATP hanya jika Ca2+ ada pula.
Kehadiran troponin dan tropomiosin pada sistem aktomiosin tersebut meningkatkan
sensitivitas sistem terhadap Ca2+. Di samping itu, subunit
dari troponin, TnC, merupakan satu-satunya komponen pengikat Ca2+.
Secara molekuler, proses kontraksi ini dapat dilihat dalam gambar sebagai
berikut:
Kontraksi otot
halus tetap dipicu oleh Ca2+ karena miosin rantai ringan
kinase (=myosin light chain kinase / MLCK) secara enzimatik akan menjadi aktif
hanya jika Ca2+-kalmodulin hadir. Konsentrasi intraselular [Ca2+]
bergantung pada permeabilitas membran plasma sel otot halus terhadap Ca2+.
Permeabilitas otot halus tersebut dipengaruhi oleh sistem saraf involunter atau
autonomik. Saat [Ca2+] meningkat, kontraksi otot halus dimulai.
Saat [Ca2+] menurun akibat
pengaruh Ca2+- ATPase
dari membran plasma, MLCK kemudian dideaktivasi.
Berikut ini contoh video kontrkaksi otot...:) klik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar